REPRESIFITAS APARAT, CARA KOTOR NEGARA MEMBUNGKAM KRITIK

Dikaji Oleh: Kementerian Kajian dan Aksi Strategis


Aksi unjuk rasa menyampaikan pendapat di muka umum sebagai perwujudan kebebasan berekspresi adalah bagian dari hak asasi manusia yang dilindungi oleh konstitusi (Pasal 28E UUD 1945) dan berbagai aturan trurunannya, (UU 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Perkap Tahun 200 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, dsb.) Karenanya kewajiban mutlak negara melindunginya tanpa terkecuali.

Namun lagi - lagi, aksi mahasisa pada 11 April 2022 di Makassar berbuntut pengejaran, penangkapan, tindakan kekerasan dan dugaan penculikan terhadap peserta aksi dan warga oleh Aparat Kepolisian. Polisi merupakan ancaman khusus bagi demokrasi, alih - alih melindungi kemerdekaan berpendapat polisi justru terkesan menjadi alat kekuasaan dengan melakukan tindakan represi terhadap para aktivis.

Dari laporan pengaduan yang diterima posko Koalisi Bantuan Hukum Rakyat (KOBAR) Makassar hingga pukul 23.30 WITA. tercatat 34 orang mengalami penangkapan dan dinyatakan hilang tanpa kabar. Diantaranya terdapat 2 pelajar di bawah umur (15 dan 17 Tahun) dan 3 orang perempuan (Mahasiswi).

Hasil pemantauan dan informasi yang dikumpulkan, bahwa mahasiswa yang ditahan di Halaman Kantor Satuan Brimob Polda Sulsel diduga mengalami perlakuan yang tidak manusiawi dengan dipaksa bertelanjang dada. Selain itu, kuat dugaan mereka dipaksa menjalani Tes Urine tanpa dasar barang bukti yang jelas.

Dengan begitu, Koalisi Bantuan Hukum Rakyat (KOBAR) Makassar mengidentifikasi dan mengecam adanya dugaan tindakan melawan Hukum dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia sebagai berikut:

Pertama, tindak jelas adanya dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh para peserta aksi yang ditangkap, mereka hanya menyuarakan pendapat dengan cara berdemonstrasi, sehingga penangkapan terhadap peserta aksi merupakan pelanggran HAM.

Kedua, pemaksaan Tes Urine tanpa dugaan tindak pidana dan disertai adanya barang bukti Narkotika. Patut diduga sebagai upaya kriminalisasi dan melegitimasi tindakan penangkapan dan penahanan yang tanpa dasar. Hal ini telah menjadi pola yang dilakukan oleh kepolisian dalam beberapa momen aksi demonstrasi sebelumnya.

Ketiga, tindakan aparat kepolisian yang memaksa peserta aksi yang ditangkap untuk bertelanjang dada merupakan sebuah tindakan yang merendahkan harkat dan martabat manusia, yang tidak dapat dibenarkan.

Keempat, penghalang - halangan pemberian akses bantuan hukum merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan bertentangan dengan UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil Politik, serta Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana. Penghalang - halangan memberikan bantuan hukum membuka peluang bagi kepolisian untuk melakukan tindakan penyiksaan dan berbagai tindakan pelanggaran prosedur lainnya.

Apatisme aparat dalam mengedepankan nilai-nilai humanisme pada dasarnya telah melenceng dari Peraturan Kapolri No. 16 Tahun 2006 tentang Pengendalian Massa, No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, serta No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Menurut Pasal 7 Peraturan Kapolri 16/2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa, aparat dilrang untuk bersikap arogan dan terpancing oleh massa, melakukan pengejaran massa secara perorangan, hingga mengucapkan kata-kata kotor dan memaki pengunjuk rasa.

Kita tentunya menolak lupa terhadap kasus yang menewaskan dua mahasiswa pada saat demo Revisi UU KPK dan RKUHP di Kendari akhir 2019 lalu. Jika saja aparat keamanan dapat mengejawantahkan isi dari pasal ataupun aturan tersebut dengan sebagaimana mestinya, kami yakin hal tersebut tidak seharusnya terjadi.

Barangkali faktor lain yang menyebabkan terjadinya tindak kekerasan oleh aparat karena mentalitas penegakan hukum, faktor hukum, serta ketidakberaniannya masyarakat atau korban untuk melaporkan tindak kekerasan yang terjadi. Perlu adanya upaya pembentukan SDM aparat yang berkompeten agar tidak terjadinya perlakuan represif terhadap masyarakat dengan kata lain meskipun aparat merupakan para penegak hukum, bukan berarti mereka berhak semena-mena apalagi menggunakan senjata, karena pada dasarnya masyarakat kita bukanlah para penjajah. represifitas mesti dikutuk apapun dalil pembenarannya oleh negara. ciri khas demokrasi ialah kebebasan berpendapat, jika kebebasan berpendapat saja dibungkam dan direpresi, artinya rezim sudah terlalu jauh melenceng dari kaidahnya. Kami mengharapkan semoga berikutnya tidak terjadi lagi represifitas aparat kepada sipil, apalagi sampai menghilangkan nyawa dari warga negara. Kritik demi kritik seharusnya dihidupkan, dan negara mesti mengakomodir jaminan keamanan atas hal tersebut.

Mengutip kata almarhum Gus Dur, "Hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia. Polisi tidur, Patung Polisi dan Hoegeng".

oh iya, kini ada empat. ditambah : Polisi dalam Komik Polisi.

    


Pustaka Tulisan:

https://indoprogress.com/2022/01/kaum-progresif-harus-punya-agenda-reformasi-kepolisian/


  • Share:

ARTIKEL TERKAIT

32 COMMENTS

LEAVE A COMMENT