Mahasiswa dan kaderisasi adalah 2
hal tidak bisa dipisahkan, saat mahasiswa memulai langkahnya di perguruan
tinggi pastinya akan dihadapkan dengan sebuah prosesi kaderisasi yang
notabenenya hadir sebagai syarat wajib untuk masuk ke dalam lingkaran
organisasi tertentu. Kaderisasi merupakan sebuah metode Pendidikan yang
ditujukan sebagai wahana pengenalan kepada setiap individu terhadap suatu
Lembaga, dan dengan adanya kehadiran kaderisasi prosesi pengenalan terkait
bentuk dan tujuan suatu Lembaga dinilai dapat lebih efektif dan efisien
dilakukan ketimbang dengan menggunakan cara-cara yang lain, yang malahan akan
meribetkan segala organ, baik dari sisi pemangku Lembaga maupun dari sisi
sebaliknya. Selain dari pada itu, kaderisasi juga ditujukan agar seseorang yang
memiliki niatan bergabung ke dalam suatu kelembagaan diharapkan mampu untuk
lebih paham dan khatam terhadap budaya dan dinamika yang berputar di dalam
lingkungan baru (kelembagaan) yang nantinya akan menjadi tempat mereka meng
upgrade setiap potensi yang ada di dalam diri mereka, baik potensi dalam bentuk
pemikiran maupun potensi bakat.
Tetapi ada hal yang cukup keliru dan seharusnya perlu
diluruskan, pandangan mayoritas mahasiswa yang berpikiran bahwa kaderisasi adalah
sebuah aktifitas yang dilakukan hanya sampai di masa-masa awal memasuki Lembaga
seperti penjelasan sebelumnya. Tetapi apakah dalam kurun waktu 2-3 hari
sebagaimana perkaderan pada umumnya, mampu untuk merubah pola pikiran dan
gerakan mahasiswa secara efektif?. Itulah sebabnya dikatakan bahwa “SETIAP
NAFAS ADALAH PERKADERAN” karena pada dasarnya dan yang seharusnya kaderisasi akan
terus berjalan sampai kapanpun, dalam artian prosesi perkaderan dari setiap
insan tidak akan pernah terputus dalam rangka untuk merubah sebuah pola pikir
maupun gerakan yang dianggap perlu untuk direnovasi sampai ia meninggal kelak.
Untuk sampai pada dimensi kaderisasi yang optimal dan
bisa sampai pada pengharapan, mematangkan metode dan konsep menjadi hal yang
paling krusial dikarenakan ketika hal tersebut tidak dimatangkan oleh sang
actor dalam sebuah Lembaga, kemungkinan besar hal tersebut yang akan
membinasakan niatan berlembaga para mahasiswa dan menghilangkan kuantitas mereka
satu persatu. Ada beberapa metode dari kaderisasi menurut tujuannya, tetapi yang
paling meresahkan adalah kaderisasi yang mengandung unsur kekerasan (bersifat
militan). kaderisasi dengan menggunakan metode ini hanya berfokus kepada
pembinaan terhadap perilaku (etika) dengan tujuan agar kader tunduk terhadap
segala perintah dan arahan sang”pengader”, tapi mirisnya bahkan ada yang sampai
tega melakukan sentuhan fisik (tindakan kekerasan) kepada kader dengan alasan agar
pembinaan terhadap etika dan kekuatan fisik mereka lebih “sempurna”.
Tetapi perlu dipertanyakan, apakah metode kaderisasi militan
di kalangan mahasiswa masih relevan untuk diterapkan di zaman konteporer? Perlu
diingat bahwa setiap manusia seharusnya menghargai martabat dan hak asasi
manusia lainnya, “Semua orang diciptakan Tuhan sama kedudukan dan derajatnya,
maka tidak ada seseorang atau kelompokpun yang berhak menguasai orang lain dan
membuatnya menderita karena alasan apapun”(Franz Magnis Suseno).. Perkaderan militan (bersifat militer)
pada dasarnya merupakan budaya kaderisasi lama yang sudah tidak relevan
diterapkan pada saat ini. Alasan bahwa budaya ini seharusnya tetap dijaga
dengan tujuan untuk menjaga tradisi menunjukkan bahwa bobroknya pemikiran
mereka yang terus menghidupkan metode
ini.
Diksi “kader manja” bukan seharusnya ditujukan kepada orang
yang anti terhadap metode militan, tetapi lebih pantas disematkan kepada
orang-orang yang masih menggunakan metode semacam ini yang menjadi bukti akan “kemalasan”
mereka untuk mengeksplorasi pemikiran dan hanya mau meng”copy” metode usang
peninggalan nenekmoyang. Dan pada akhirnya kader akan tunduk bukan karena
beretika, tetapi mereka hanya akan merasa ketakutan dan ujung-ujungnya akan mematikan
potensi yang ada di dalam diri setap kader karena tidak adanya keberanian untuk
menunjukkan hal itu. Fenomena ini tentu sangat memprihatinkan bagi sistem
akademisi Karena jika berkembang lebih jauh maka akan sangat mempengaruhi
kualitas dari manusia yang dihasilkan institusi pendidikan.
Doktrin umum yang biasanya diberlakukan akan
mengantarkan kita pada pahaman bahwa mahasiswa adalah kaum yang menolak segala
bentuk penindasan di negeri ini. Atas pahaman ini, apakah lantas mengisyaratkan
bahwa tidak ada lagi penindasan dalam lingkaran mahasiswa? Perlu disadari bahwa
Mahasiswa merupakan sosok harapan bangsa yang mempunyai tanggung jawab besar,
bukan hanya pada dirinya tetapi juga bertanggungjawab kepada Masyarakat. Sudah
seharusnya kaderisasi mahasiswa lebih mengarah kepada peningkatan intelektual
guna mampu untuk menyadari bahwa masih banyak ketidakadilan, penindasan,
perampasan yang terjadi ditengah-tengah Masyarakat dan seharusnya mereka yang hadir
untuk memberikan Solusi terhadap segala permasalahan yang ada. Bukan malahan mereka
dicekoki untuk tunduk terhadap hal-hal yang sebenarnya sedang menjajah diri
mereka. hal yang seharusnya
paling pertama dilakukan adalah memastikan tidak ada lagi unsur penindasan yang
menyusup di lingkaran penyambung lidah rakyat sebelum melangkah ke arah yang
lebih luas untuk mengkritiki segala bentuk penindasan di lingkaran negara,
Refleksilah, Kehidupan sudah tidak lagi bersaing
diwilayah kekuatan fisik tetapi sudah harus bersaing secara kecerdasan untuk
tetap eksis di kehidupan seperti saat ini. Hilangkanlah metode usang yang hanya
akan merugikan kader dan bahkan lembaga itu sendiri, Sudah saatnya kader
dibentuk dengan pendekatan dialogis dan pastisipatif bukan lagi bersifat
teknokratis dan paternalistik. Sudahi merawat segala jenis kekerasan di dalam
sebuah pengaderan, mari berfokus pada motode yang sifatnya mampu mengupgrade
pemikiran para kader, agar mampu memahami segala bentuk ketimpangan sosial yang
terjadi di dalam lingkungan masyarakat. sekian
HIDUP
MAHASISWA!!!