PARTAI BURUH VS WELFARE STATE

PARTAI BURUH VS WELFARE STATE — Catatan kecil ini tidak akan mengulas kembali dengan maksud mengkritik release dari Partai Sosialis Revolusioner (PSR) mengenai Partai Buruh yang memiliki misi “Welfare State”. Kutub yang berlawanan dengan konsep negara liberal yang memusatkan kekuatan ekonomi pada prinsip filantropi khas negara Kapitalisme. Saat ini dibelahan dunia lain seperti negara-negara Eropa pada umumnya terpapar krisis, yakni krisis energi juga krisis pangan. Amerika sendiri juga terpapar krisis, yakni krisis tenaga kerja imbas dari pada krisis energi dan krisis pangan di Eropa. Mungkin—sekalipun bagi kalangan Marxisme dan Leninisme marah dengan istilah “mungkin”—krisis disebabkan oleh Rusia yang dengan sengaja menginvasi Ukraina. Sedangkan dibelahan dunia lain seperti Cina terpapar krisis kepercayaan—karena mungkin sebagian besar masyarakat dunia khususnya negara berkembang yang ternyata tertinggal—tidak lagi percaya dengan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) varian baru.

 

Sama seperti konspirator yang memperdebatkan Intelligence “Artificial Intelligence” (AI) yang secara tidak sengaja melahirkan permusuhan antara kecerdasan buatan dan kebodohan alami, antara kecerdasan (intelligence) dan kesadaran (consciousness), dan antara kediktatoran logika berpikir manusia dan kediktatoran algoritma digital. Sama dengan istilah “Green Capital” (Kapital Hijau) yang merupakan pilihan solutif—tidak menggunakan istilah “alternatif” khas Marxis Postmodernisme—sebagai juru selamat umat manusia dari krisis iklim. Oleh karena itu istilah “Welfare State” mungkin sangat usang bagi khalayak luas yang sebagian kecil memperdebatkan “electoral threshold”, sebagian kecil lainnya memperdebatkan “gender”, sebagian kecil lainnya memperdebatkan “politik identitas”.

 

Banyak kalangan akademisi kiri yang menggunakan istilah “Welfare State” akan tetapi memperlihatkan sisi kelemahan lainnya—candu (ketergantungan) mengemis terhadap negara berbasis Kapitalisme—menggunakan istilah “Universal Basic Income” (UBI), “Universal Basic Service” (UBS), dan “National Basic Support” (NBS) yang pada intinya memajaki pemerintah dan investor untuk memenuhi aspek kebutuhan dan pelayanan dasar dengan maksud mencapai kata sejahtera. Kapitalisme sudah sering dininabobokan menggunakan istilah Mogok Nasional (Monas) khas Said Iqbal Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang sekaligus merangkap jabatan sebagai Presiden Partai Buruh. Kita bisa membayangkan Kapitalisme dengan tangannya yang tidak terlihat (invisible hand) menggunakan “blockchain” dan “cryptocurrency” untuk mengendalikan dan bahkan mengintervensi pasar ketika mengalami ketidakpastian. Sedangkan tangan yang terlihat akan menggunakan produk hukum untuk mengintervensi kebijakan politik. Sehingga sangat kecil kemungkinan Partai Buruh yang mengesampingkan kesadaran demarkasi pada tingkatan basis bisa mewujudkan “Welfare State”.

 

Utopia paradoks idealnya merupakan perwujudan dari cita-cita yang tidak berdasarkan realita. Partai Buruh setelah merapikan lapisan teratas—menjadi peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2024—sudah saatnya merapikan lapisan terbawah—membangun kesadaran demarkasi pada tingkatan basis—demi terwujudnya “Welfare State”. Namun sangat penting peran stakeholder (kelompok kepentingan) yang mewakili kelas Pekerja mendukung Partai Buruh merapikan lapisan terbawah guna membangun kesadaran kelas pada tingkatan basis. Oleh sebab itu sangat penting persatuan Organisasi Politik (Orpol) dan Organisasi Masyarakat (Ormas) yang memiliki teori revolusioner menjadikan Partai Buruh sebagai kendaraan ideologi menuju “Welfare State”, entah itu dengan cara mewujudkan transformasi ekonomi dari Kapitalisme ke Sosialisme menggunakan sarana pemerintahan ala Sosialisme Demokrat (Sosdem), entah itu dengan cara mengintervensi ekonomi, politik, dan sosio-kultural demi terciptanya keadilan sosial versi demokrasi liberal dan ekonomi campuran “Keynesian” khas Demokrasi Sosial, entah itu dengan cara mendukung progresivitas Kapitalisme untuk melakukan perubahan dari dalam khas Demokrat Sosial Modern, ataukah merebut kekuasaan dengan cara yang paling radikal juga fundamental—karena tidak ada kekuasaan yang diberi secara cuma-cuma—melainkan kekuasaan harus direbut dari tangan Leviathan dan juga Kraken, Negara dan Kapitalisme!

 

“Sebab tidak ada praktek revolusioner, tanpa teori revolusioner,” tutupku mengutip Lenin.

 

-AB

  • Share:

ARTIKEL TERKAIT

78 COMMENTS

LEAVE A COMMENT