Agama
tidak membutuhkan institusi sebagai jembatan Keledai ditengah disrupsi
keberagaman—sebab corak ide masyarakat belum sepenuhnya tercabut dari akar
budayanya—yang dimana akulturasi ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) sangat
mempengaruhi cara setiap orang beragama. Berbeda cara orang beragama antara
yang mampu mengakses keadilan di bidang ekonomi dan yang tidak mampu mengakses
keadilan di bidang ekonomi. Bagi yang mampu mengakses keadilan di bidang
ekonomi akan lebih banyak bersyukur. Sedangkan bagi yang tidak mampu mengakses
keadilan ekonomi akan lebih banyak bermunajat pada tuhan dan menggantungkan
hidupnya pada kebaikan manusia. Berbeda cara orang beragama antara yang mampu
mengakses keadilan sosial dan yang tidak mampu mengakses keadilan sosial. Bagi
yang mampu mengakses keadilan sosial dipastikan khusyuk dalam beriman.
Sedangkan bagi yang tidak mampu mengakses keadilan sosial berpeluang besar
meninggalkan agama karena seumur hidupnya tidak merasakan kebesaran tuhannya.
Berbeda cara orang beragama antara yang mampu mengakses keadilan dalam
berbudaya dan yang tidak mampu mengakses keadilan dalam berbudaya. Bagi yang mampu
mengakses keadilan dalam berbudaya akan merasa sangat akrab dengan tuhannya.
Sedangkan bagi yang tidak mampu mengakses keadilan dalam berbudaya akan merasa
tuhan bersemayam dibalik jubah kebesaran para pemukanya.
Manakah
yang benar saat ini apakah moderasi agama ataukah modernisasi agama? Moderasi
agama yang artinya agama termoderasi seolah-olah mengakui agama menggunakan
kekerasan dan keekstreman oleh karenanya patut dihindari. Sedangkan modernisasi
agama yang artinya agama mampu mengadopsi dan mengadaptasikan nilai-nilai
perkembangan zaman dalam kehidupannya sehari-hari. Moderasi agama sama sekali
tidak penting dalam mengatur kehidupan masyarakat dunia saat ini yang ditopang
langsung oleh kemajuan teknologi informasi. Modernisasi agama sangatlah penting
bagi masyarakat dunia yang individualistis untuk menembus tembok spiritual dan
tiba pada visualisasi (mode rahasia) untuk mengenali semua genus biologi
ciptaan tuhannya. Narasi agama sangatlah penting sebagai wacana dan juga opini
publik. Agama memiliki peran secara teoritis dan juga praktis dalam memimpin
dan membimbing umat manusia menghindari irelevansi dibalik perkembangan
teknologi informasi yang berdampak langsung pada pengambilan keputusan dalam
kehidupan sehari-hari.
Pada
intinya moderasi beragama memiliki tujuan deradikalisasi agama. Disinilah letak
kekeliruan berpikir yang menganggap radikalisasi agama sebagai bahaya laten.
Bahkan jauh sebelum politik menggunakan agama sebagai identitas (politik
identitas) pada dasarnya agama telah mengenal politik jauh sebelum ilmu politik
dan sistem politik itu diterjemahkan dalam wawasan berbangsa dan bernegara.
Sejarah agama membuktikan bahwasanya agama merupakan salah satu instrumen
politik yang melahirkan nilai-nilai (mengajarkan hukum tuhan) bagi penganut
maupun pengikutnya. Dari keterangan sebelumnya bisa dimaknai bahwa agama
bukanlah politik identitas melainkan identitas politik bagi penganut maupun
pengikutnya.
Radikalisasi
agama sudah ada sejak dulu. Terbukti agama berhasil bertransformasi mengikuti
perkembangan zaman dengan prinsip kebebasan (liberte), kesetaraan (egalite),
dan persaudaraan (fraternite) dalam mereformasi gereja ala Lutheran. Reformasi
gereja disimpulkan sebagai trisola yang terdiri dari sola fide
(hanya
keyakinan), sola gratia (hanya anugerah), dan sola scriptura (hanya kitab) yang
mengkritik malpraktek “indulgentia” sebagai sakramen tobat. Protestan ialah
bukti agama sama sekali tidak tercabut dari akarnya, melainkan agama tetap pada
akarnya sekalipun berulangkali diterpa oleh arus mainstream.
Saat
ini agama disusupi oleh liberalisme yang menuduh agama itu ekstrem, radikal,
intoleran, dan eksklusif. Padahal pantas ketika agama itu ekstrem versi
fanatisme bagi penganutnya. Padahal pantas ketika agama itu radikal—secara
mendasar—bukti kepatuhan terhadap kepatutan ajarannya. Padahal wajar ketika
agama itu intoleran terhadap liberalisme dalam bentuk nilai dan terapannya yang
kemungkinan merusak agama. Padahal wajar ketika agama ekslusif yang membedakan
antara satu agama dengan agama lainnya. Banyak golongan-golongan agama yang
katanya mengajarkan cinta kasih, namun pada prakteknya tetap saja memungut
upeti. Sebab intoleran terhadap agama intoleran artinya sama saja intoleran.
Label kekerasan yang terdapat pada agama diberikan oleh negara. Negara telah
mendistorsi sekaligus mendiskreditkan agama seolah-olah agama ialah simbol
kekerasan. Padahal seringkali negara menggunakan agama sebagai instrumen
politiknya demi melanggengkan kekuasaan. Diskresi secara sepihak yang dilakukan
oleh negara memoderasi agama adalah bentuk pembungkaman.
Zaman
(dewasa) ini sama sekali tidak dewasa. Dewasa ini dalam perkembangan sistem
digitalisasi (teknologi informasi) manusia tidak lagi eksis karena dibatasi
oleh dinding-dinding virtual yang memanipulasi kesadaran dan kenyataan manusia.
Teknologi informasi berbasis Artificial Intelligence (AI) dan algoritma menurut
Yuval Noah Harari telah mengantarkan manusia pada zaman irelevansi yang sarat
akan bebas nilai. Dengan kata lain manusia saat ini diperhadapkan dengan
ambiguitas yang akibatnya sangat fatal ketika kesimpulannya bersifat anomali.
Pentingnya agama menjadi nilai standar dalam hukum tidak tertulis (the standard
of value in unwritten law) yang merupakan kewajiban bagi pengikutnya ketika
mengikuti perubahan atau perkembangan zaman. Agama yang radikal penting guna
menembus dinding-dinding virtual agar sekiranya mampu menjadi batas pemisah
(demarkasi) antara baik dengan tidak baik dan antara benar dengan tidak benar
yang peruntukannya khusus bagi umatnya. Dinding-dinding virtual tadi bisa
digunakan sebagai media propaganda bagi agama untuk melakukan radikalisasi pada
umatnya. Pentingnya kesadaran umat untuk membedakan antara moderasi agama dan
modernisasi agama, juga mampu membedakan antara agama moderat dan agama modern,
sebab sejatinya agama tidak mengajarkan kekerasan melainkan perdamaian, sebab
sejatinya agama tidak mengingkari perkembangan zaman melainkan mengikuti
perkembangan zaman.
Pada
zaman revolusi industri 5.0 menuju seperempat abad 22 ditandai dengan
bergesernya tenaga mesin secara manual (menggunakan tenaga manusia) menjadi
tenaga robotika secara otamatisasi (tanpa menggunakan tenaga manusia). Saat ini
pikiran manusia dilampaui oleh AI dan pilihannya ditentukan oleh algoritma.
Menjadi salah satu alasan pentingnya modernisasi agama yang artinya kecakapan
dan kemampuan agama mengikuti secara berimbang perkembangan zaman. Jangan
lupakan peran penting media sosial seperti Facebook, Instagram, dan Twitter
yang memiliki pengaruh besar dalam kehidupan sehari-hari. Facebook, Instagram,
dan Twitter bisa menjadi media propaganda bagi agama modern dalam
meradikalisasi agama guna pentingnya agama sebagai nilai standar dan hukum
tidak tertulis (the standard of value in unwritten law). Pentingnya agama
mengisi kekosongan virtual sama pentingnya seperti “Homo Deus” penulis
penjualan terbaik (best seller) “Sapiens” karya Yuval Noah Harari yang mengisi
kekosongan pustaka.
Jangan
harap tulisan ini memiliki penutup kesimpulan. Sebab kesimpulan ada pada
pembaca. Penulis tidak butuh saran dari pembaca. Sebab saran terbaik ada pada
agamanya bumi manusia. Tulisan ini tanpa daftar pustaka. Sebab daya ingat
penanda manusia memiliki otak. Lebih dan kurangnya jangan dimaafkan karena
tuhan sudah cukup mewakili pembaca sebagai maha pengasih lagi maha penyayang
yang sudah pasti maha pemaaf.
“Penulis
adalah seorang Ateis yang percaya dengan gaya fisika, partikel kimia, dan
struktur biologi sebagai kehendak bebas yang dimiliki oleh manusia untuk
meragukan tuhan dan agamanya. Tetapi penulis percaya sebaik-baiknya agama ialah
mengikuti perkembangan zaman karena tuhan yang berkehendak atas kehendak bebas
milik manusia,” bukti Ateis mempercayai tuhan dan agamanya”
A A N
Kota
Tua Peradaban Mati