Mahasiswa Atau Sapi Antang?

Mahasiswa atau sapi Antang?
Salam Mahasiswa
Salam KMPNUP
Salam Satu Warna
Tiap perubahan sosial yang pernah terjadi dalam sejarah dunia meniscayakan adanya peran aktor intelektual dibelakangnya. Pula dalam sejarah Indonesia perubahan-perubahan monumental yang pernah ada tak luput dari peranan mahasiswa dibaliknya. Runtuhnya orde lama, orde baru, reformasi, mengkonfirmasi kita bahwasanya mahasiswa adalah alat kontrol yang efektif bagi kekuasaan.
Jika mahasiswa identik dengan perubahan, pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan perilaku dan gerakan mahasiswa jaman sekarang?
Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya zaman, era yang serba digital juga turut menjadi suatu ancaman yang menggerus ruh idealisme mahasiswa. Globalisasi, sikap yang mendewakan nilai akademik (study oriented), hedonisme, dan semakin maraknya eksistensi kaum gamers di kalangan mahasiswa di kampus mengindikasikan bahwa pergerakan mahasiswa semakin redup dan kian hari kian sakit. 
Mahasiswa yang kita ketahui merupakan sekelompok manusia yang berakal sehat yang digadang-gadang sebagai agent of change malah menjadi agent of game. Mahasiswa yang digadang-gadang sebagai social control dewasa ini tak ubahnya bagaikan sapi yang digiring-giring oleh pengembala (birokrat) kesana kemari sesuka hati. 
Filosofi mahasiswa kampus hitam bak sapi Antang
Situasi dan kondisi kampus saat ini bisa dianalogikan dengan sapi di TPA Antang. Sapi di Antang tiap paginya berduyun-duyun menuju ke dekat tempat pembuangan sampah untuk mencari makan. Lalu tiap sorenya kawanan sapi tersebut pulang saat senja sampai jam 6 petang. Seperti itulah pemandangan di TPA Antang tiap harinya. 
Sama halnya seperti kondisi kampus saat ini, setiap pagi mahasiswa berangkat ke kampus. Pada saat jam istirahat, mahasiswa berduyun-duyun ke kantin yang lokasinya berada dekat pembuangan sampah. Kemudian, para mahasiswa tersebut juga berkawanan pulang ketika petang tiba. Makanya trend kata ”mahasiswa kampus hitam bak sapi Antang” merupakan kata satire yang cocok untuk mendeskripsikan fenomena yang eksentrik ini.
Mahasiswa yang bermental tunduk
Hal lainnya yang patut kita sayangkan yaitu masih banyak mahasiswa yang memandang jika semua kebijakan yang dikeluarkan oleh birokrasi dianggap sebagai hal yang wajib hukumnya kita patuhi. Perlu saya tegaskan bahwa pimpinan-pimpinan kampus atau negara bukanlah nabi ataupun raja yang sabdanya menjadi suatu kebenaran absolut yang musti kita jalani. Mereka juga manusia biasa yang bisa saja membuat kekhilafan atau kesalahan. Maka dari itu tugas kita sebagai insan cendekia yaitu tetap melestarikan budaya kritik sebagai bentuk manifestasi peringatan terhadap kebijakan-kebijakan yang tidak lagi pro kepada mahasiswa maupun rakyat. Jika budaya kritik telah hilang, maka kekuasaan akan semakin menjadi-jadi.
Bagaimana dengan sikon demokrasi kampus saat ini?
Perlu saudara-saudara sekalian pahami bahwa budaya kritik di negara demokrasi bukan menjadi sesuatu hal yang tabu, melainkan menjadi sesuatu yang halal untuk kita lakukan. Kenapa? Karena demokrasi sendiri secara asal kata berasal dari kata Yunani (demokratia) dan terdiri atas dua suku kata, demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan). Yang berarti demokrasi menempatkan kekuasaan/kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. 
Sampai sejauh manakah demokrasi diterapkan sebagaimana mestinya? Apakah otokrasi penguasa masih begitu kental dan demokrasi sekedar slogan sahaja?
Betulkah demo sama dengan D.O?
Mirisnya, demokrasi di kampus sudah dikebiri sejak dini. Intimidasi telah ditanamkan sedari maba yaitu adanya jargon bahwa "demo sama dengan D.O". Padahal jargon tersebut sangat tidak benar adanya. Drop Out ataupun Skorsing biasanya diarahkan kepada mahasiswa yang melanggar aturan :
1. Kasus indisipliner
2. Kasus akademik
Merujuk pada STATUTA maupun SPT, tidak ada pasal yang mengatur tentang hukuman drop out/skorsing kepada mahasiswa yang melakukan kritik terhadap kebijakan birokrasi kampus. Karena memang, kebebasan berpendapat merupakan hak asasi yang dimiliki oleh tiap warga negara dan telah dijamin oleh negara. Sebagaimana bunyi hukum UUD pasal 28E ayat (3) berbunyi, "setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat."
Jangan biarkan demokrasi diberangus dengan beringas. Ketahuilah kawan-kawan, kritik merupakan suatu cara sehat untuk mengobati sistem sedang yang sakit.
Terakhir yang ingin saya sampaikan, perubahan-perubahan hanya dapat dilakukan oleh kaum tertindas yang sadar akan fenomena yang menimpa mereka. (Paulo Freire)
"Apabila usul ditolak tanpa ditimbang.
Kritik dilarang, suara dibungkam tanpa alasan.
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan.
Hanya ada satu kata... Lawan" Widji Tukul
  • Share:

ARTIKEL TERKAIT

2 COMMENTS

LEAVE A COMMENT