WACANA PENUNDAAN PEMILU DAN 3 PERIODE

Wacana penundaan Pemilu yang sekarang hangat terdengar di telinga kita tentunya tidak lepas dari berbagai macam problema yang mengatur ketentuannya, diantaranya adalah Pasal22E NRI 1945 ayat (1) berbunyi “Pemilihanumum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiaplima tahun sekali”, jadi secara otomatiswacana ini telah menciderai konstitutional (contempt of constitution) sebagai hukum tertinggidi negara ini.

Meskipun terbuka kesempatan untuk melakukam wacana penundaan Pemilu 2024, untuk mewujudkannnya bukanlah sesuatu yang mudah. Apalagi jika menggunakan mekanisme konstitusional dengan mengamandemen UUD 1945. Pasalnya, menunda Pemilu 2024 maka harus ditentukan pula bagaimana Presiden, Wakil Presiden, dan anggota DPR-DPD yang masa jabatannya habis pada tahun tersebut. Hal itu harus dipertegas dalam menentukan siapa yang berhak memperpanjang masa jabatan Presiden, Wakil Presiden, dan anggota DPR-DPD. Jika hak untuk memperpanjang masa jabatan Presiden, Wakil Presiden, dan anggota DPR-DPD diberikan kepada MPR maka pasal dalam UUD 1945 yang mengatur soal lembaga tinggi negara ini juga harus diubah.

Hal yang paling mendasar dan sangat penting untuk kita kaji bersama ketika annti wacana penundaan pelaksanaan Pemilu 2024 berhasil diundur tanpa alasan konstitusional yang jelas, ini akan menimbulkan kegemparan di berbagai daerah sehingga negara berada dalam keadaan darurat konstitusi. Sementara posisi jabatan Presiden dan Wakil Presiden berakhir, maka terjadi kekosongan jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Kejadian ini sama sekali belum diatur dalam konstitusi yag diatur dalam UUD 1945 Pasal 8 ayat 2, yaitu tentang kekosongan Wakil Presiden. Begitupun dengan Pasal 8 ayat 3 UUD 1945 hanya mengatur kekosongan jabatan jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya secara bersamaan, maka yang dapat melaksanakan tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Namun ketika Presiden dan Wakil Presiden mengalami kekosongan masa jabatan karena masa jabatannya berakhir otomatis masa kerja kementerian-kementerian juga dianggap telah berakhir karena yang mengangkatnya adalah Presiden yang masa jabatannya juga telah berakhir. Ini sama sekali belum diatur dalam konstitusi. Jangan sampai kekosongan hukum tersebut mengakibatkan kudeta konstitusional atau kudeta yang diperintahkan oleh undang-undang. Maka pemerintahan dapat diambil alih oleh militer dalam hal ini Panglima TNI, KSAD, KSAU, KSAL, dan pimpinan militer lainnya.

Sekarang ini sebaiknya pemerintah segera mencari jalan keluar agar kudeta konstitusional tersebut tidak terjadi dan bagaimana caranya Pemilu 2024 dapat terlaksana dengan demokratis dan konstitusional. Kami berharap wacana penundaan Pemilu dan Tiga Periode terjadi sehingga ini dapat memicu semangat para pihak untuk mewujudkan protes Pemilu 2024 yang jujur, adil, bebas, dan rahasia serta dapat menciptakan pemilu yang demokratis dan sesuai dengan konstitusi yang berlaku, demi tercapainya kesetaraan hukum dan konstitusional di negeri kita.

Selain itu juga terdapat wacana presiden "Tiga Periode". Jika masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden diperpanjangselama satu sampai dua tahun, itu artinya sama dengan satu periode. Sehingga harus dijelaskan bagaimana keadaan negara yang dipimpin oleh pihak lain. Presiden, Wakil Presiden, DPR, dan DPD tidak lagi mempunyai hak karena masa jabatan yang sudah berakhir.

Terlepas dari instrument Penundaan Pemilu 2004 tentunya ada juga dari wacana dinasti pemerintahan yaitu "Tiga Periode" padahal sudah tertuang dengan jelas dalam konstitusi yang mengatur dengan tegas dan berlaku di negara kita yang sesuai dengan pasan 7 UUD 1945 sebelum amandemen "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali." Dan sesudah amandemen yang pertama "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dans esudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan " tegas bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan karena itu, ada prakondisi yang harus dilalui yakni amandemen konstitusi UUD 1945 apanila wacana tersebut ingin direalisasikan. Sedangkan dalam kacamata kami masa jabatan tioga periode bertentangan dengan upaya memperbaiki demokrasi yang da di negara kita dan juga bisa mengatur pembatasan kekuasaan agar satu orang tidak memegang kekuasaan yang terlalu lama.

Dampak dari tiga periode ini ialah terhambatnya inovasi untuk Indonesia yang lebih baik yaitu tidak ada regenerasi untuk calon pemimpin yang mungkin memiliki potensi yang lebih baik dalam menjadi pemimpin, tidak adanya pergantian pemimpin yang sejatinya terdapat harapan  masyarakat agar bisa lebih baik. Dan dari pembacaan kondisi sekarang ini pertarungan antar dua koalisi ini berpotensi menimbulkan konflik sosial antara pendukung dan penolak agenda Jokowi tiga periode atau perpanjangan masa jabatan presiden dapat memicu kekacauan serta ketidakstabilan politik.

Melihat situasi di atas sudah jelas bahwa wacana penundaaan pemilu tiga periode itu inkonstitusional, lalu apa yang kemudian menjadi motif elite-elite politik mendorong wacana ini, apakah wacana ini didorong semata-mata untuk kepentingan pragmatis elit politik (oligarki) dan bukan untuk kepentingan masyarakat?

Berbicara teori causaprima (sebab awal) wacana di atas pertama kali didorong oleh Menteri Investasi Indonesia dan kepala badan koordinasi penanaman modal Bahlil Lahadalia, yang mengatasnamakan pengusaha. Namun disini Bahlil tidak menjelaskan siapa sososk para sosok pengusaha itu, selanjutnya Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar agar pemilu ditunda, yang katanya menyarakan perwakilan pebisnis UMKM, namun kembali lagi Ketua PKB itu tidak menjelaskan siapa sosok pebisnis itu, kemudian ada Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartato, katanya saat berkunjung ke daerah Siak dan menemui petani sawit dan mendengar aspirasi dari petani sawit tersebut yang meminta agar pemilu ditunda, alasannya harga sawitnya lagi bagus dan mungkin saja khawatir ketika presiden diganti, harga sawit akan turun drastis. Dan tak hanya sampai disitu, Ketua Umum partai PAN Zulkifli Hasan turut menyuarakan penundaan pemilu 2024.

Selain ada barisan pendukung di inner circle Jokowi yakni Luhut Binsar Panjaitan, Menko bidang Kemaritiman dan Investasi, membuat gempar dengan klaim big data 110 juta suara rakyat menginginkan agar pemilu 2024 ditunda. Namun, lagi-lagi klaim Luhut tersebut berdasarkan hasil serapdari pengguna media sosial, namun Luhut tidak mengeksposdata tersebut secara real.

Dari deretan nama tadi mulai Bahlil, Muhaimin Iskandar, ZUlkifli Hasan, Airlangga, hingga Luhut adalah aktor orkestra wacana yang kemudian booming hari ini. Di sisi lain deretan nama di atas tidak bisa membuktikan data secara empiris dan tentunya tidak berdasarkan kemauan seluruh elemen masyarakat ketika wacana ini muncul dan bisa saja wacana ini untuk kepentingan elit politik semata untuk melanggengkan kekuasaan.

Melihat gerakan wacana penundaan pemilu tiga periode Jokowi ini terdesain secara sistematis, walaupun disisi lain, para elit politik di atas tidak biss membuktikan data yang diserap dari masyarakat, hal ini semakin memperkuat spekulasi bahwa ini merupakan kepentingan elit politik, yang berorientasi kekuasaan (akumulasi ekonomi, kekuatan politik, dampak sosial). Seperti kita ketahui bahwa negeri penuh dengan skenario politik dan sering kali masyarakat menjadi korban akibat skenario para elit politik.

Berbicara teori Hukum Kausalitas (sebab akibat), tentu yang mencoba mendorong wacana ini adalah orang-orang yang akan hilang kekuasaan, ekonomi, politik, sosoial seiring dengan berakhirnya masa jabatana Jokowi, karena selama Jokowi menjabat mereka mendapat keuntungan baik itu secara materil maupun dalam kedudukan jabatan-jabatan politik dalam struktur kekuasaan, seperti Menteri, Duta Besar dan Ketua Lembaga-lembaga lainnya, yang diambil dari kalangan elit yang mendukungnya.

Kemudian bisa saja wacana penundaan pemilu tiga periode merupakan produk hasil perselingkuhan oligarki dan kapitalis, hal ini diperkuat dengan alasan para pengusaha menunda pemilu tiga periode Jokowi seperti yang disampaikan Bahlil di atas, bisa saja ini menjadi motif unutk mengamankan lapak bisnis para pemburu rantai yang selama ini merasa nyaman karena mendapat keistimewaan dari peemrintahan dan perseligkuhan ini tentunya agar akumulasi kekayaan mereka terus terjaga. Ditambah lagi elit-elit politik yang mendorong wacana ini memiliki misi untuk tampil di kontestan pemilu 2024, apaakh ini ada hubungannya dengan elektabilitas para elit politik tersebut?

Melihat peta politik hari ini, Cak Imin, Airlangga Hartanto berencana untuk tampir sebagai Calon Presiden 2024, bisa kita lihat dengan semakin banyaknya spanduk beliau bertebaran di tempat umum, namun secara elektabiltas mereka masih kalah dari calon lainnya seperti Ganjar, Annies Baswedan, dan Prarabowo Subianto dan mungkin saja ini menjadi salah satu strategi politik dari elit-elit tersebut untuk menaikkan elektabilitasnya ketika pemilu ditunda 2-3 tahun.

Walupun disisi lain presiden Jokowi menolak wacana ini yang katanya beliau taat pada konstitusi, namun seperti kita ketahui bahwa relasi kuasa itu berinteraksi dalam membangun hegemoninya. Secara politik aktor tidak pernah berbicara atas dirinya, melainkan berbicara atas nama orang lain, hal tersebut supaya membangun desain politik agar terlihat senatural mungkin. Ketika kita berpacu pada konteks politik domestik, perilaku elite politik juga melakukan hal yang sama melalui lobi-lobi politik, mereka mendesain sebuah wacana agar dapat diterima oleh semua publik  untuk kepentingan mereka semata.

Bergulirnya wacana penundaan pemilu dan tiga periode jabatan eksekutif, merupaka karpet merah bagi langgengnya status quo (kemapanan) rezim bobrok saat ini. Langgengnya status quo suatu rezim politik bisa menjadi anasir buntunya jalan perubahan menuju kesejahteraan masyarakat (yang saat ini masih jauh dari kata itu).

Pada periode kedua rezim Joko Widodo atau PDIP (dan tentunya konco-konconya) secara An Sich, nampak belum ada titik terang dari apa yang kita sebut perubahan menuju kesejahteraan. Hal ini tentu bisa kita tenggarai dari pelbagai fenomena yang maujud sepanjang periode kedua ini. Mulai dari, penanganan pandemi yang terkesancarut-marut dengan pelbagai kebijakan kontriversinya, kebebasan pendapat yang sedikit banyaknya diberangus melalui pasal karet UU ITE (masih hangat dalam ingatan kriminalisasi Haris dan Fathia), perampasan ruang hoidup masyarakat -teranyar tentunya kasus wadas- yang semakin massif demi kepentingan oligrki, perusakan lingkungan secara massif dengan dalih infestasi, tidak adanya keseriiusan penanganan korupsi, gaya komunikasi pejabat publik yang kadang penuuh dengan arogansi sehingga rawan terjadi kegaduhan di tengah masyarakat, belum lagi aksi Lip Service dari penguasa yang masih menjadi senjata utama pencitraan. Dan tentunya seabrek kasur-kasur minor lain yang mudah ditemuindata dan faktanya dialog.

Pada titik ini,ide tentang wacana tiga periode harus dikubur dalam-dalam seperti terkuburnya kasus-kasus pelanggaran HAM yang tidak selesai samapi saat ini. Karena pemaparan diawal, wacana tiga periode membentang karpet merah langgengnya status quo rezim yang berarti juga menjauhkan bangsa dari perubahan menuju kesejahteraan. Meski tidak bisa dipungkiri, berganti rezim tidak meniscayakan akan terjadi perubahan menuju kesejahteraan, akan tetapi ketika status quo dan harapan perubahan bertemu di persimpangan jalan, sebagai seorang bijak tentu kita akan selalu memupuk harapan yang disemai oleh aksi nyata.







    

        

        

    

    

    

    

    

    

            

        


    
    














 




  • Share:

ARTIKEL TERKAIT

2 COMMENTS

LEAVE A COMMENT