DARURAT KEKERASAN SEKSUAL DI PERGURUAN TINGGI, NAMA BAIK SIAPA?

“Sejarah kemajuan ditulis dalam darah pria dan wanita yang berani mendukung tujuan yang tidak populer, seperti misalnya hak pria kulit hitam atas tubuhnya, atau hak wanita atas jiwanya.” Emma Goldman

Pelecehan seksual marak terjadi di lingkungan sekitar kita bahkan orang terdekat pun dari kita dapat menjadi korban. Dapat di kategorikan bahwa pelanggaran kejahatan ini secara langsung telah mencoreng aspek humanitas.

Parahnya lagi, banyak dari kita mendapat tindakan yang kurang nyaman namun tak sadar bahwa tindakan tersebut adalah bentuk pelecehan. Apa mungkin karena kurangnya edukasi mengenai pelecahan seksual atau kekerasan seksual?.

Mari bahas terlebih dahulu, apa itu pelecehan seksual? oleh KOMNAS Perempuan dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menyebutkan bahwa, Pelecehan seksual yaitu tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun nonfisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Tindakan yang dimaksud termasuk juga siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukkan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, dan gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan mertabatnya, dan juga sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.


Bentuk Kekerasan Seksual

Tindakan kekerasan seksual telah marak terjadi disekitar kita, hanya saja kita tidak menyadari atau kurangnya pengetahuan akan hal tersebut jadi sulit mendiagnosa bahwa hal yang diterima sudah dapat dikualifikasikan sebagai pelecehan seksual.

Pelecehan seksual secara general diketagorikan dalam 2 aspek yaitu verbal dan nonverbal. Kebanyakan orang hanya mengenal aksi pelecehan itu dari segi nonverbal dalam hal ini kontak fisik. Padahal, ada juga versi verbal nya. Dalam verbal harrasment, hal tersebut dapat dikatakan sebagai pelecehan ketika kita merasa buruk, tidak percaya diri dan tentu saja merasa tidak nyaman atas tindakan yang kita terima, salah satunya seperti catcalling yang marak terjadi ketika dijalan yang membuat sebagian perempuan merasa tidak nyaman dan tidak aman akibat tindakan sebagian orang seperti siulan hingga melontarkan kalimat misal, “Hai cantik (manis), kenalan dong”. Tentu banyak dari kita belum mengetahui bahwa tindakan itu termasuk pelecehan seksual.

Sedangkan dalam nonverbal harrasment dapat berbentuk sentuhan fisik secara langsung. Seperti memeluk, mencium, menempelkan tubuh, meraba area seksual, memijat tekuk dan lebih parah lagi tindakan pemerkosaan. Melihat dari banyaknya kasus tindakan tersebut kebanyakan melibatkan perempuan sebagai korban. Namun, hal itu tak menjadi pembatas bahwa perempuan tak bisa menjadi pelaku.

Karena adanya konstruk yang sangat tajam dengan menyudutkan korban saat mendapatkan pelecehan alhasil disaat seperti itu korban memilih menghindar, diam dan melupakan hal tersebut, sebagian besar seperti itu. Tetapi bisa saja hal tersebut dilakukan si korban karena telah merasa buruk. Bagaimana tidak? jika melihat dari sisi korban bukan hanya soal kerugian politik, ekonomi, atau hal lainnya tapi kerusakan mental (psikis) korban yang tidak dengan mudah untuk dipulihkan.



Sudah Saatnya Kita Speak Up

Paling tidak mereka akan mengurung diri, depresi (jatuh mental) pada akhirnya berujung lebih memilih diam dibanding menyurakannya (speak up). Bahkan parahnya, menurut dari pengakuan beberapa penyintas ada yang ingin mengakhiri hidup mereka akibat merasa geram melihat pelaku masih diberikan akses di lingkungan mereka bahkan pelaku terlihat tidak merasa bersalah atas tindakannya. Mereka berpikir jika mereka speak up, secara langsung semua orang akan tahu apa yang dia alami dan akan menjadi hot news dikalangan publik belum lagi jika mereka mendapatkan intervensi pribadi dari pelaku kekerasan atau pelecehan.

Perguruan tinggi merupakan salah satu tempat untuk mengembangkan daya pikir yang seyogyanya di isi oleh orang orang yang berpendidikan, atau dapat dikatakan bahwa kita menuntut ilmu hingga pada akhirnya akan mendapatkan sebuah gelar yang juga sebagai kebutuhan hidup orang-orang tertentu.

Akan tetapi, perguruan tinggi belum dapat memberikan rasa aman dan nyaman terhadap para mahasiswanya karena kita kerap menormalisasikan rape culture yaitu tindakan kekerasan seksual yang menjadi budaya di kalangan kelompok tertentu. Sebagian penuntut ilmu di perguruan tinggi, menyampaikan bahwa mayoritas dari mereka seringkali mendapatkan ungkapan yang membuat mereka risih ketika hendak berkegiatan di kampus bahkan dalam kegiatan perkuliahan, beberapa juga mendapatkan pesan dengan nada dan nuansa seksual.

Tentu saja hal ini tak dapat kita kesampingkan, sebab tindakan tersebut merupakan pelecehan seksual yaitu berupa catcalling yang berada pada tingkatan paling bawah dari piramida rape culture. Walau begitu catcalling telah menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian mahasiswa dan mayoritas yang mendapatkan tindakan tersebut yaitu perempuan.



Normalisasi Catcalling

Dari pernyataan beberapa mahasiswa di perguruan tinggi khususnya di kota Makassar, mengatakan bahwa ia kerap kali mendapatkan catcalling dan itu tak satu atau dua kali namun tiap hari. Ia kerap kali dihadapkan dengan orang-orang yang membuatnya risih dan menambahkan bahwa ia bahkan setiap hari menjumpai masyarakat kampus yang memberi catcalling sebanyak tiga kali setiap hari. Bukan hanya sesama mahasiswa, bahkan dosen, serta civitas akademika yg lainnya.

Tentu saja, hal ini sangat berpotensi menurunkan kepercayaan diri korban catcalling untuk bisa secara aktif melakukan kegiatan di kampus. Ada sebuah ungkapan yang berkembang di masyarakat yaitu "cantik itu luka", begitu juga yang terjadi di lingkungan kampus sebagai gambaran bahwa dianggap cantik sudah sepatutnya harus menerima konsekuensi berpotensi besar mendapatkan catcalling. Namun, hal ini juga tidak dapat kita tampik dengan menyalahkan bentuk fisik seseorang karena yang menjadi hal krusial adalah alasan dibalik pelaku catcalling melakukan tindakan tersebut.

Kita dibesarkan dalam budaya patriarki yang menjadikan jenis kelamin laki-laki sebagai sosok yang dominan. Pun stigma yang berkembang di masyarakat bahwa laki-laki ditunjuk sebagai orang yang memberikan perlindungan kepada perempuan. Namun, hal itulah yang menyebabkan kuasa dipegang oleh laki-laki. Jika dihubungkan dengan catcalling, karena mereka (laki-laki) merasa superior dari perempuan, itulah yang menjadi sebab mereka merasa bangga jika telah memberikan ungkapan yang bernada dan bernuansa seksis.

Tak bisa kita pungkuri juga pelaku catcalling tak hanya dilakukan oleh laki-laki tapi juga terkadang perempuan pun melakukan tindakan tersebut, akan tetapi mayoritas mereka yang melakukan catcalling berasal dari laki-laki.



Waspada Terhadap Mereka yang Cabul !

Tak hanya lahir dalam budaya patriarki, tapi juga dalam relasi kuasa dan relasi gender yang timpang, menjadikan catcalling terus menampakkan wajahnya dan menampar rasa nyaman dan aman seseorang ketika mendapatkan ungkapan yang membuat mereka risih. Adanya kelompok yang menganggap diri mereka sebagai yang berkuasa seringkali terjadi, apalagi pada saat memasuki awal-awal semester karena banyaknya mahasiswa baru yang berkuliah di perguruan tinggi. Tentu ada tenggang rasa yang terjadi pada mahasiswa baru.

Menurut beberapa mahasiswi perempuan, pada saat mereka berdatangan ke kampus karena mengikuti salah satu program perkenalan dunia kampus, mereka diperhatikan oleh banyak mahasiswa yang telah lebih dulu kuliah dan kebanyakan dari mereka adalah laki-laki dan sebagian menyasarkan serangan ungkapan yang begitu seksis. Tentu saja, walau catcalling berada pada tingkatan paling bawah dari piramida rape culture namun kita perlu ketahui bahwa tindakan kecil berpotensi menjadi tindakan yang lebih besar. Bahwa dari catcalling berpotensi menyebabkan terjadinya kekerasan atau pelecehan seksual.

Sudah saatnya kita membuka mata melihat permasalahan ini, sebab hampir semua orang telah mendapatkan serangan catcalling baik itu di jalan hingga ruang-ruang untuk menuntut ilmu dan dapat juga kita masukkan catcalling sebagai produk dari budaya patriarki karena telah melahirkan mereka yang merasa dirinya superior dan berkuasa diatas individu lainnya.



Korban Mampus Demi Nama Baik Kampus

Data dari KEMENDIKBUDRISTEK sepanjang 2021 mencatat ada 2.500 kasus kekerasan seksual yang terjadi di Perguruan Tinggi juga bahwa kasus kekerasan seksual yang terjadi seperti fenomena gunung es. Ada banyak kasus namun tak menjumpai titik terang alhasil atas kepekaan inilah disahkannya Permendikbud No.30 Tahun 2021 yang sempat menuai kecaman dari beberapa pihak dimulai dari ormas hingga beberapa kalangan akademisi, bahkan hingga saat ini belum ada satu kampus pun yang menerapkan hal tersebut. Tidak hanya itu pertanyaan lain pun hadir, apakah hal tersebut bisa mencegah pun menjadi solusi atau bahkan menjawab segala kekerasan dan pelecehan seksual yg terjadi di dalam kampus?

Ketika terjadi kekerasan seksual di lingkungan pendidikan terkhususnya perguruan tinggi, dalam penyelesaiannya sering kali mengalami hambatan terlebih di dalam klaim keadilan maupun pemulihan bagi para korban. Hal itu disebabkan adanya relasi kuasa yang kuat dari para pelaku. Kemudian, di sisi lain masyarakat bahkan lebih memercayai seseorang yang memiliki otoritas keilmuan maupun spiritual dibandingkan korban.

Karena hal itulah, maka disaat terjadi kekerasan seksual mayoritas masyarakat kemudian menyalahkan korbannya atau yang biasa disebut dengan victim blaming. Alhasil karena adanya stigma seperti ini menyebabkan korban kekerasan seksual memilih diam ketimbang harus melaporkan pelaku yang merugikannya secara mental dan fisik. Terlebih lagi kondisi psikologis dari korban juga perlu kita perhatikan bahkan menurut dari pernyataan beberapa penyintas, mereka merasa bahwa hidup mereka sudah tidak berwarna lagi dan bahkan membuat pribadi mereka yang awalnya sangat riang seketika menjadi pemurung dan penakut yang dimana itu terjadi dalam ruang ruang untuk menuntut ilmu.

Belum lagi lambatnya respons dari institusi pendidikan dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual lantaran demi menjaga nama baik lembaganya semakin membuat korban tak berdaya. Hambatan-hambatan itu yang kerap kali membuat korban kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tak dipercaya ketika bersuara tentang apa yang dialaminya. Dan akhirnya memilih untuk diam.

Sudah seharusnya para pimpinan perguruan tinggi tak lagi menutup mata dalam persoalan pelecehan dan kekerasan seksual di dalam dunia kampus karena telah memakan banyak korban dan mendapati korban tak dapat bergerak dengan aktif. Hal tersebut karena tidak adanya ruang aman dan nyaman yang diciptakan dalam kampus khususnya di Politeknik Negeri Ujung Pandang.

Belum lagi beberapa waktu lalu, kita mendapati pimpinan yang terkesan sangat tergesa-gesa dalam pembentukan dan sosialisasi Satuan Tugas (Satgas) PPKS dalam lingkup Politeknik Negeri Ujung Pandang dengan tak mengindahkan mekanisme pembentukan Panitia Seleksi (Pansel) PPKS.

Dengan begitu, Apakah Satgas PPKS yang terkesan cacat formil itu bisa menjadi solusi atau bahkan menjawab segala kekerasan dan pelecehan seksual yg terjadi di dalam kampus?

 

 

 

  • Share:

ARTIKEL TERKAIT

371 COMMENTS

LEAVE A COMMENT